Sekarang lanjutan terakhir dari bahasan menghadap kiblat yaitu kaitannya menghadap kiblat saat melaksanakan shalat sunnah di atas kendaraan.
# Fikih Manhajus Salikin karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di
Kitab Shalat
Kata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah dalam Manhajus Salikin,
وَمِنْهَا: اِسْتِقْبَالُ اَلْقِبْلَةِ:
قَالَ تَعَالَى: { وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ اَلْمَسْجِدِ اَلْحَرَامِ } اَلْبَقَرَةِ: 150
فَإِنْ عَجَزَ عَنِ اسْتِقْبَالِهَا لَمَرَضٍ أَوْ غَيْرِهِ سَقَطَ كَمَا تَسْقُطُ جَمِيْعُ الوَاجِبَاتِ بِالعَجْزِ عَنْهَا
قاَلَ تَعَالَى: فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
وَكَانَ النَّبِيُّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يُصَلِّي فِي السَّفَرِ النَّافِلَةَ عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَفِي لَفْظٍ: غَيْرَ أَنَّهُ لَا يُصَلِّي اَلْمَكْتُوبَةَ.
Di antara syarat shalat lainnya adalah menghadap kiblat. Allah Ta’alaberfirman (yang artinya), “Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.” (QS. Al-Baqarah: 150)
Ketika tidak mampu menghadap kiblat karena sakit atau sebab lainnya, maka menghadap kiblat jadi gugur sebagaimana semua kewajiban jadi gugur ketika tidak mampu. Karena Allah Ta’ala berfriman (yang artinya), “Bertakwalah kepada Allah semampu kalian.” (QS. At-Taghabun: 16).
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat sunnah ketika safar di atas kendaraannya menghadap ke mana saja arah kendaraan tersebut. Hal ini disebutkan dalam hadits yang muttafaqun ‘alaih. Dalam lafazh lain disebutkan, beliau shalat di atas kendaraan selain melakukan shalat wajib.
Keadaan Kedua Menghadap Kiblat Menjadi Gugur: Ketika Melakukan Shalat Sunnah bagi Musafir di Atas Kendaraan
Dari Jabir bin ’Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُصَلِّى عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ ، فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melaksanakan shalat sunnah di atas kendaraannya sesuai dengan arah kendaraannya. Namun jika ingin melaksanakan shalat fardhu, beliau turun dari kendaraan dan menghadap kiblat.” (HR. Bukhari, no. 400).
Namun tetap disunnahkan ketika takbiratul ihram menghadap kiblat sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا سَافَرَ فَأَرَادَ أَنْ يَتَطَوَّعَ اسْتَقْبَلَ بِنَاقَتِهِ الْقِبْلَةَ فَكَبَّرَ ثُمَّ صَلَّى حَيْثُ وَجَّهَهُ رِكَابُهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersafar dan ingin melaksanakan shalat sunnah lantas beliau mengarahkan kendaraannya ke arah kiblat. Kemudian beliau bertakbir, lalu beliau shalat sesuai arah kendaraannya.” (HR. Abu Daud, no. 1225. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Adapun dalam shalat fardhu (shalat wajib), menghadap kiblat merupakan syarat.
Shalat di Pesawat
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Penumpang pesawat jika ingin mengerjakan shalat sunnah, maka ia shalat ke arah mana pun, tidak wajib baginya menghadap kiblat. Karena ada hadits shahih yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melaksanakan shalat sunnah di atas kendaraannya saat safar dengan menghadap arah mana pun.
Adapun untuk shalat fardhu, wajib menghadap kiblat. Ketika itu juga tetap melakukan ruku’ dan sujud jika memungkinkan. Jika mampu melakukan seperti itu, maka boleh melakukan shalat di pesawat. Namun jika shalat tersebut bisa dijamak dengan shalat sesudahnya, seperti jika masuk waktu Zhuhur dan shalat tersebut bisa dijamak dengan shalat Ashar atau shalat Maghrib dijamak dengan shalat Isya, maka lebih baik dilakukan jamak takhir. Hendaklah penumpang bertanya pada petugas di pesawat mengenai arah kiblat jika memang di dalam pesawat tidak ada petunjuk arah kiblat. Jika tidak mencari arah kiblat lebih dahulu, shalatnya tidaklah sah.” (Majalah Ad-Da’wah,no. 1757, hlm. 45, dinukil dari Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 82536)
Dalam Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab no. 82536, Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid menyebutkan, “Jika tidak mampu berdiri dan tidak mampu menghadap kiblat, maka shalatnya sah. Namun jika mampu untuk berdiri dan menghadap kiblat, namun tidak dilakukan, shalatnya tidaklah sah.”
Menghadap Kabah Langsung dan Menghadap ke Arah (Jihhah)
Pertama: Wajib menghadap kea rah Kabah bagi yang melihat Kabah secara langsung. Ada klaim ijmak (sepakat ulama) tentang hal ini dari Ibnu Hazm, Ibnu Rusyd, Ibnu Qudamah, dan Ibnu Taimiyyah.
Kedua: Bagi yang berada di Makkah dan dapat melihat Kabah secara langsung, maka disyaratkan menghadap Kabah. Bagi yang tidak mampu melihatnya secara langsung karena jauh dari Kabah, maka cukup menghadap jihhah (arah saja). Demikian pendapat dalam madzhab Abu Hanifah, salah satu pendapat ulama Syafi’iyah, juga menjadi pendapat Ash-Shan’ani, Asy-Syaukani, Syaikh Ibnu Baz, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.
Ketiga: Bagi yang berada di luar Makkah, maka ia cukup menghadap ke jihhah (arah) Kabah. Inilah pendapat jumhur ulama, yaitu ulama Hanafiyah, Malikiyah, Hambali, salah satu pendapat ulama Syafi’iyah, dan menjadi pendapat Ibnu Hazm. Lihat bahasan dalam Mulakhash Fiqh Al-‘Ibadat, hlm. 191.
Melenceng Sedikit dari Arah Kiblat
Dalam Ghayah Al-Muqtashidin Syarh Manhaj As-Salikin (1:188) disebutkan bahwa menghadap ke arah (al-jihhah) dan menyimpang sedikit tidaklah masalah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ
“Arah antara timur dan barat adalah kiblat.” (HR. Tirmidzi, no. 342, dari Abu Hurairah. Tirmidzi mengatakan hadits ini shahih. Dikatakan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil dan Misykah Al-Mashabih bahwa hadits ini shahih). Berarti antara arah timur dan barat adalah kiblat.
Dalam Mulakhash Fiqh Al-‘Ibadat (hlm. 192) disebutkan pula bahwa menyimpang sedikit dari jihhah (arah Kabah) tidaklah masalah. Inilah pendapat dari ulama Hanafiyah, Hambali, salah satu pendapat dari Imam Malik, pendapat ini dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnu ‘Utsaimin, dan juga merupakan pendapat dari Al-Lajnah Ad-Daimah (Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia).
Semoga bermanfaat dan berakhir pembahasan menghadap kiblat dalam tiga serial. Wallahu waliyyut taufiq.
Referensi:
- Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 82536. Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid.
- Ghayah Al-Muqtashidin Syarh Manhaj As-Salikin. Cetakan pertama, Tahun 1434 H. Abu ‘Abdirrahman Ahmad bin ‘Abdurrahman Az-Zauman. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
- Mulakhash Fiqh Al-‘ I’dad: Al-Qism Al-‘Ilmi bi Muassasah Ad-Durar As-Saniyyah.
- Syarh Manhaj As–Salikin. Cetakan kedua, Tahun 1435 H. Dr. Sulaiman bin ‘Abdillah Al-Qushair. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.
—
Diselesaikan saat safar ke Jakarta, 18 Jumadal Ula 1440 H (24 Januari 2019)
Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T., M.Sc.
Artikel Rumaysho.Com